Beranda | Artikel
Kitabul Jami Bab 2 - Muqadimah Berbakti dan Menyambung Silaturahmi (البِرُّ وَالصِّلَةُ)
Senin, 20 Juli 2020

Kitabul Jami’ Muqadimah Bab 2
Berbakti dan Menyambung Silaturahmi (البِرُّ وَالصِّلَةُ)

Oleh: DR. Firanda Andirja, Lc. MA

MUQADIMAH

Bismillahirrahmānirrahīm, alhamdulillāh wash-shalātu was-salāmu ‘ala Rasūlillāh.

Pembaca yang dirahmati Allah, bab kedua dari kitābul jāmi’ adalah bab “Al-Birr wa Ash-Shilah” (berbuat kebaikan dan menyambung silaturahim).

Sebelum kita membahas hadits-hadits yang berkaitan dengan silaturahim, maka ada beberapa hal yang perlu diingatkan.

Yang pertama, ada perbedaan antara al-birru (berbakti) dan as-shilah (menyambung silaturahmi). Berbakti kedudukannya lebih tinggi daripada silaturahmi, berbakti berkaitan dengan berbuat baik kepada kedua orangtua, adapun silaturahmi berkaitan dengan berbuat baik kepada kerabat selain kedua orang tua. Karenanya orang yang tidak berbakti dinamakan  anak yang durhaka (العَاقُّ), adapun orang yang tidak menyambung silaturahmi dinamakan “pemutus silaturahmi” (القَاطِعُ).

Yang dimaksud dengan berbakti adalah berbakti kepada kedua orang tua kandung, adapun kepada kakek dan nenek maka juga dinamakan berbakti akan tetapi kedudukannya dibawah berbakti kepada kedua orangtua kandung. Tatkala Allah menyebutkan tentang kedua orangtua maka Allah menyebutkan tentang kedua orang tua kandung. Allah berfirman:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (23) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (24)

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil (QS Al-Isroo’ 23-24)

Firman Allah (Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut) dan (sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil) menunjukan bahwa yang dimaksud dengan berbakti kepada kedua orangtua adalah kedua orangtua langsung yang telah merawat kita tatkala kita kecil.

Yang kedua, banyak orang yang salah dalam menggunakan istilah silaturahim. Mereka mengganti istilah ziarah dengan silaturahim. Misalnya, ketika seseorang hendak mengunjungi saudara, teman, atau ustadznya dia mengatakan, “Kita akan silaturahim kepada ustadz,” atau, “Kita akan silaturahim ke rumah teman.” Padahal dimaksud adalah ziarah (berkunjung). Sedangkan silaturahim adalah menyambung kekerabatan. Sudah jelas bahwa kita dengan teman atau ustadz tidak ada hubungan kekerabatan. Jadi istilah yang benar seharusnya. “kita menziarahi ustadz atau teman.”

Mengapa demikian? Karena Allāh dan syari’at memang membedakan antara “silaturahim” (menyambung kekerabatan) dan “ziyāratul ikhwān” (mengunjungi teman). Antara silaturahim dengan ziarah berbeda, pahalanya pun berbeda. Masing-masing memiliki kedudukan, akan tetapi silaturahim memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada sekedar ziarah.

Namun demikianlah yang sering terjadi dalam masyarakat kita. Sebagian besar orang mengganti istilah ziarah dengan silaturahim. Padahal itu adalah istilah yang tidak tepat dan harus diperbaiki. Diantara akibat kerancuan istilah ini ada sebagian orang yang semangat melakukan ziarah/kunjungan/pertemuan dengan sahabat-sahabatnya (dengan merasa ia sedang bersilaturahmi) sementara karib kerabatnya yang senasab tidak pernah atau jarang ia kunjungi.

Silaturahim mendatangkan pahala-pahala yang istimewa. Di antara pahala silaturahim adalah seperti disebutkan dalam firman Allāh :

وَٱلَّذِينَ يَصِلُونَ مَآ أَمَرَ الله بِهِۦٓ أَن يُوصَلَ

“Dan orang-orang yang menghubungkan (menyambungkan) apa-apa yang Allāh perintahkan supaya dihubungkan (disambung, yaitu silaturahim).“ (QS. Ar-Ra’du: 21)

Setelah menyebutkan beberapa amalan, lalu Allāh menyebutkan,

أُولَٰئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ

“Bagi mereka kesudahan (tempat tinggal) yang terbaik.” (QS. Ar-Ra’du: 22)

جَنَّٰتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا

“(yaitu) surga ´Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama.” (QS. Ar-Ra’du: 23)

Ini menunjukkan silaturahim merupakan salah satu amalan yang luar biasa, yang dapat menyebabkan seseorang bisa masuk surga.

Selain ayat di atas, ada banyak sekali hadits yang menyebutkan  tentang keutamaan menyambung silaturahim dengan ibu, ayah, bibi, dan kerabat-kerabat lain secara umum.

Oleh karenanya, jangan disamakan antara “silaturahim” dengan “ziyāratul ikhwān atau akhwāt”.

Yang ketiga, “apa makna ar-rahim (kerabat)?” dan “kepada siapa kita harus bersilaturahim?

Kerabat bisa diklasifikasikan menjadi tiga berikut ini.

  • Kerabat dari ashhār (keluarga istri). Termasuk di dalam-nya adalah  ipar, mertua, dan sebagainya.
  • Kerabat sepersusuan, seperti saudara sepersusuan, kakak se-persusuan, ayah sepersusuan, dan sebagainya.
  • Kerabat dari nasab, yaitu kerabat yang memiliki hubungan darah, misalnya saudara kandung, saudara satu kakek, dan sebagainya.

Lalu, di antara tiga jenis kerabat ini, manakah yang harus disambung tali kekerabatannya (silaturahim)?

Yang dimaksud dengan silaturahim adalah yang menyambung hubungan karena nasab atau hubungan darah, yaitu yang ketiga.

Menyambung hubungan dengan kerabat istri tidak dinamakan silaturahim, meskipun hal itu juga termasuk perbuatan baik yang dianjurkan sebagai bagian dari berbuat baik kepada manusia secara umum, terlebih bagi yang punya hubungan kekerabatan dengan kita. Jika kita berbuat baik kepada mertua atau ipar tidak dinamakan silaturahim. Meskipun kita juga berharap mudah-mudahan kita mendapat pahala silaturahim karena kita membantu istri kita untuk bersilaturahim dengan ayah dan ibunya.

Berkaitan dengan saudara sepersusuan, Rasulullah ﷺ bersabda,

يَحْرُمُ مِنْ الرَّضَاعَ مَا يَحْرُمُ مِنْ النَّسَبِ

“Diharamkan dari persusuan apa-apa yang diharamkan dari nasab.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Yang dimaksud dalam hadits ini adalah yang berkaitan dengan pernikahan, yaitu yang menjadi mahram karena nasab (hubungan darah) dan juga berkaitan dengan persusuan, karena orang yang sepersusuan bisa menjadi mahram. Akan tetapi,  Rasulullāh ﷺ tidak mengatakan,

يَجِبُ مِنَ الرَّضَاعَ مَا يَجِبُ مِنَ النَّسَبِ

“Yang wajib berlaku pada nasab juga berlaku pada sepersusuan.”

Seandainya Nabi ﷺ berkata demikian, berarti kita wajib juga bersilaturahim kepada saudara sepersusuan. Namun ternyata Rasulullāh ﷺ tidak mengatakan demikian.

Dengan demikian, maka kita kembali kepada hukum umum, yaitu kita berusaha berbuat baik kepada seluruh manusia, terlebih lagi kepada orang-orang yang mempunyai hubungan sepersusuan dengan kita. Namun hal itu tidak dinamakan silaturahim dan ayat serta hadits di atas bukan termasuk dari ayat dan hadits yang memerintahkan silaturahim.

Jadi kesimpulannya, yang dimaksud dengan silaturahim adalah menyambung hubungan karena nasab atau darah.

Mungkin akan timbul pertanyaan, apakah seluruh orang-orang yang memiliki hubungan darah dengan kita wajib kita sambung silaturrahīm? Maka dalam hal ini ada 3 pendapat di kalangan para ulama, yaitu sebagai berikut.

Pendapat Pertama

Menurut pendapat ini, yang wajib untuk disambung silaturrahīm adalah kerabat-kerabat yang memiliki hubungan mahram dengan kita, baik mahram dari sisi laki-laki maupun perempuan. Contohnya:

  • Orang tua; ayah merupakan mahram bagi putrinya dan ibu merupakan mahram dari putranya.
  • Saudara laki-laki dan saudara perempuan, baik sekandung, seayah dan seibu/seayah.
  • Kakek dan nenek.
  • Cucu.
  • Al-a’mām (Paman-paman yang merupakan saudara-saudara laki-laki dari bapak.
  • Al-ammāt (Bibi-bibi yang merupakan saudari-saudari pe-rempuan dari bapak).
  • Akhwāl (Paman-paman yang merupakan saudara-saudara laki-laki dari ibu).
  • Khālāt (bibi-bibi, yang merupakan saudari-saudari perempuan dari ibu).

Ini merupakan pendapat yang masyhur dari Hanafiyah dan Malikiyyah,. Mereka berdalil dengan suatu hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasūlullāh ﷺ bersabda,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا ، وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا

“Tidak boleh seseorang (tatkala berpoligami kemudian dia) menggabungkan antara seorang wanita dengan tantenya (saudari dari bapaknya) atau dia menikah sekaligus dengan bibi wanita tersebut (saudari dari ibunya).”

Hal ini dilarang oleh Nabi ﷺ karena bisa memutuskan silaturrahīm antara seorang wanita dengan tantenya atau bibinya. Kita tahu, hubungan antara seorang wanita dengan tantenya atau bibinya adalah hubungan mahram. Dari sini, mereka (para ulama)  mengatakan, “Yang wajib disambung silaturahim adalah yang memiliki hubungan mahram.”

Kelaziman dari pendapat ini adalah berarti kalau sepupu tidak wajib kita sambung silaturrahīm karena dia bukan mahram. Ini pendapat yang agak kuat, karena bagaimana kita (laki-laki) menyambung silaturrahīm dengan sepupu perempuan sementara dia bukan mahram, bagaimana kita (laki-laki) mau mengobrol dengan dia sementara bukan mahram. Akan tetapi menyambung silaturahmi dengan sepupu hukumnya adalah mustahab dan tidak wajib. Karena manyambung silaturahmi dengan sepupu tidak selues dan sebebas menyambung silaturahmi dengan kerabat yang mahram.

Oleh karena itu, kita perlu mengenal dan perlu pembahasan khusus tentang mahram ini.

Pendapat Kedua

Menurut pendapat kedua, yang dimaksud rahīm yang wajib kita sambung yaitu ahli waris.

Ini merupakan pendapat sebagian fuqaha seperti pendapat Al-Qadhi’iyyāt dari madzhab Maliki dan An-Nawawi dari madzhab Syafi’iyyah.

Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ بِحُسْنِ الصُّحْبَةِ قَالَ: أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أَبُوكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ

Rasūlullāh ﷺ tatkala ditanya oleh seseorang, “Wahai Rasūlullāh, siapakah yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?” Maka jawaban Nabi ﷺ, “Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian ayahmu, kemudian yang paling dekat denganmu yang paling dekat denganmu.” (HR. Muslim)

Para ulama yang berpegang dengan pendapat ini memahami bahwa kalimat “ibu dan ayah” merupakan termasuk ahli waris kita. Sedangkan kalimat “yang paling dekat denganmu” adalah yang paling dekat dari sisi ahli waris.

Namun pendapat ini terbantahkan (kurang kuat) karena 2 sebab, yaitu:

Sebab pertama, Sabda Nabi ﷺ dengan lafadz “yang lebih dekat dengan engkau” tidak dapat hanya difahami sebagai ahli waris saja, akan tetapi lebih tepat jika dibawa kepada makna umum, yaitu “yang paling dekat sisi kekerabatannya/nasabnya denganmu.”

Nabi tidak menyebutkan bahwa “yang paling dekat” adalah ahli waris, sehingga tidak boleh kita khususkan sesuatu yang umum.

Sebab kedua, pendapat ini melazimkan kita untuk tidak perlu menyambung silaturrahīm dengan bibi atau tante, terutama dengan bibi dari pihak ibu, karena bibi bukan ahli waris kita. Padahal dalam hadits Rasūlullāh ﷺ mengatakan,

الخَالَةُ بِمَنْزِلَةِ الأُمِّ

“Bibi saudari perempuan ibu adalah kedudukannya seperti ibu.” (HR. Bukhari Muslim)

Menurut hadits ini, wajib bagi kita untuk menyambung silaturrahīm dan berbuat baik kepada bibi sebagaimana berbuat baik kepada ibu, meskipun bibi bukan termasuk ahli waris.

Oleh karena itu, pendapat yang ke-2 ini adalah pendapat yang kurang kuat.

Pendapat Ketiga

Menurut pendapat ini, seluruh kerabat wajib kita sambung silaturrahīm. Semakin dekat maka semakin wajib, semakin jauh maka semakin berkurang kewajibannya. Tetapi pada asalnya wajib menyambung silaturrahīm kepada seluruh kerabat.

Pendapat ini juga kurang kuat. Pendapat ini mengandung konsekwensi bahwa kita wajib berhubungan baik (silaturrahīm) dengan seluruh manusia. Karena pada dasarnya nashab seluruh manusia akan kembali kepada Nabi Adam, karena kita seluruhnya adalah keturunan Nabi Adam dan ibunda Hawa. Jika demikian, maka seluruh nashab wajib kita sambung silaturahim, sehingga kita harus bersilaturahim dengan seluruh manusia.

Oleh karenanya, Allāhu a’lam bish-shawāb, pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang pertama. Bahwasanya yang wajib kita sambung silaturrahīm adalah yang merupakan mahram kita, dan yang selainnya hukumnya sunnah.

Para mahram inilah yang wajib kita senantiasa kita hubungi dan berbuat baik dengan mereka, entah dengan bertelepon, berkirim surat dan pesan, berkunjung, dan berbagi kebaikan kepada mereka. Adapun selain mereka adalah nomor dua alias sunnah, seperti saudara sepersusuan, saudara istri, dan kerabat-kerabat yang jauh yang bukan mahram.

Allāhu a’lam bish-shwāb, ini adalah khilaf para ulama agar kita tahu dengan jelas mana yang lebih utama kita sambung silaturrahīm dan mana yang tingkatan kedua (kurang utama). Jangan sampai kita lebih mementingkan yang sunnah (kurang utama) dan meninggalkan yang wajib (utama).

Di antara hal yang sering ditanyakan adalah, “Apakah wajib bagi kita untuk berbuat baik kepada mertua sebagaimana berbuat baik kepada ibu kandung?”

Maka jawabannya adalah, “Tidak wajib.”

Barangsiapa yang sengaja berbuat baik kepada mertua sama dengan berbuat baik kepada ibunya, maka dia telah menyakiti hati ibunya. Ibunya (yang telah mengandung dan merawatnya saat kecil) akan merasa sedih tatkala dia disamakan dengan mertuanya. Sudah semestinya, ibu ditempatkan lebih tinggi daripada mertua.

Berbut baik kepada mertua tidak termasuk silaturrahīm karena tidak ada hubungan rahim. Jika seorang suami berbuat baik kepada mertua maka hal itu dapat membantu istri berbuat baik kepada orang tuanya, sehingga istri akan mendapat pahala silaturrahīm. Tetapi dari sisi suami, kewajiban kepada mertua tidak sama dengan kewajiban kepada ibu kandung. Bahkan keduanya sangat berbeda. Kepada mertua bukan silaturrahīm, adapun ibu adalah silaturrahīm yang nomor satu.

Hal ini perlu dicamkan bagi pasangan suami istri agar istri tidak menuntut perlakuan yang sama dari suaminya antara  kepada ibunya dan kepada ibu suaminya. Hal ini tentu tidak boleh. Suami yang baik tentu akan berusaha berbuat baik kepada mertuanya dan membantu istrinya agar bisa bersilaturrahīm dengan ayah dan ibunya sementara ibunya sendiri tetap dinomorsatukan. Wallāhu a’lam bishshawāb.

Peringatan:

Pertama : Hukum berbakti kepada kedua orang tua yang kafir dan fasik

Ibnu Hazm berkata :

وَاتَّفَقُوا أَنَّ بِرَّ الْوَالِدَيْنِ فَرْضٌ

“Para ulama sepakat bahwa berbakti kepada kedua orang tua adalah wajib” (Marotibul Ijmaa’ hal 157)

Para ulama tatkala menjelaskan tentang kewajiban berbakti kepada kedua orang tua mereka tidak membeda-bedakan antara orang tua yang ta’at atau fasik atau kafir. Karena meskipun mereka kafir atau fasik mereka tetap memiliki jasa yang besar dan hak yang besar yang harus dibalas dan ditunaikan.

Bahkan sebagian ulama menyatakan secara tegas bahwa kewajiban berbakti mencakup kedua orang tua yang fasik maupun kafir.

Ibnu Abi Zaid Al-Qoirawani (ulama bermadzhab Malikiah yang wafat tahun 386 H) berkata :

وَمِنَ الْفَرَائِضِ بِرُّ الوَالِدَيْنِ وَإِنْ كَانَا فَاسِقَيْنِ وَإِنْ كَانَا مُشْرِكَيْنِ

“Dan diantara kewajiban adalah berbakti kepada kedua orangtua meskipun keduanya fasiq dan meskipun keduanya musyrik” (Risalah Ibni Abi Zaid AL-Qoirawani hal 153)

Allah berfirman

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14) وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik” (QS Luqman : 14-15)

Konteks kedua ayat ini sangat tegas bahwa sejak awal Allah tidak membedakan antara orangtua yang muslim ataupun orang yang kafir/musyrik. Bahkan dzohir ayat ini pembicaraannya tentang orang tua yang musyrik, karenanya Allah berfirman (Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu).

Al-Baghowi berkata :

وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا أَيْ: بِالْمَعْرُوفِ، وَهُوَ الْبِرُّ وَالصِّلَةُ وَالْعِشْرَةُ الْجَمِيلَةُ

“Firman Allah (Dan pergaulilah kedua orang -yang musyrik tersebut- dengan yang baik), yaitu berbakti, menyembung silaturahmi, dan pergaulan yang baik” (Tafsir Al-Baghowi 6/288)

Ibnu ‘Athiyyah berkata

وقوله وَصاحِبْهُما فِي الدُّنْيا مَعْرُوفاً يَعْنِي الأَبَوَيْنِ الْكَافِرَيْنِ أَيْ صِلْهُمَا بِالْمَالِ وَادْعُهُمَا بِرِفْقٍ

“Firman Allah (Dan pergaulilah kedua orang -yang musyrik tersebut- dengan yang baik), yaitu kedua orangtua yang kafir, yaitu sambunglah silaturahmi dengan memberi harta kepada mereka berdua dan dakwahilah mereka berdua dengan kelembutan” (Al-Muharror al-Wajiiz fi Tafsiir al-Kitaab al-‘Aziiz 4/349)

Asmaa’ binti Abi Bakar berkata :

قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قُلْتُ: وَهِيَ رَاغِبَةٌ، أَفَأَصِلُ أُمِّي؟ قَالَ: «نَعَمْ صِلِي أُمَّكِ»

“Ibuku datang kepadaku dan ia dalam kondisi musyrik di masa perjanjian Rasulullah (al-Hudaibiyah/perjanjian damai dengan kaum kafir Quraisy), maka akupun bertanya kepada Rasulullah, aku berkata, “Dia ingin berbuat baik, apakah aku menyambung silaturahmi dengan ibuku (yang musyrik)?”. Nabi berkata, “Iya, sambung silaturahmi dengan ibumu” (HR Al-Bukhari No. 2620 dan Muslim No. 1003)

Bahkan sebagian ulama dari madzhab Al-Malikiyah menyatakan tetap taat kepada kedua orang tua meskipun mereka hendak melakukan kesyirikan atau kemaksiatan yang menurut agama mereka adalah kebaikan.

Ahmad bin Ghonim Al-Azhari Al-Maliki berkata :

فَيَجِبُ عَلَى الْوَلَدِ الْمُسْلِمِ أَنْ يُوَصِّلَ أَبَاهُ الْكَافِرَ إلَى كَنِيسَتِهِ إنْ طَلَبَ مِنْهُ ذَلِكَ وَعَجَزَ عَنْ الْوُصُولِ بِنَفْسِهِ لِنَحْوِ عَمًى كَمَا قَالَهُ ابْنُ قَاسِمٍ، كَمَا يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَدْفَعَ لَهُمَا مَا يُنْفِقَانِهِ فِي أَعْيَادِهِمَا لَا مَا يَصْرِفَانِهِ فِي نَحْوِ الْكَنِيسَةِ أَوْ يَدْفَعَانِهِ لِلْقِسِّيسِ

“Maka wajib bagi sang anak yang muslim untuk mengantarkan ayahnya yang kafir ke gerejanya jika sang ayah meminta untuk mengantarnya dan sang aya tidak mampu untuk berangkat sendiri, misalnya karena buta. Hal ini sebagaimana pendapat Ibnu Qosim. Sebagaimana wajib juga atas sang anak untuk memberikan harta bagi kedua orang tuanya (yang kafir) apa yang mereka butuhkan dalam perayaan mereka. Akan tetapi bukan untuk yang mereka sumbangkan ke gereja atau kepada pendeta” (Al-Fawaakih Ad-Dawaani ‘ala Risaalah Ibni Abi Zaid al-Qoirawaani 2/290)

Thohir bin ‘Aasyuur berkata :

قَالَ فُقَهَاؤُنَا: إِذَا أَنْفَقَ الْوَلَدُ عَلَى أَبَوَيْهِ الْكَافِرَيْنِ الْفَقِيرَيْنِ وَكَانَ عَادَتُهُمَا شُرْبَ الْخَمْرِ اشْتَرَى لَهُمَا الْخَمْرَ لِأَنَّ شُرْبَ الْخَمْرِ لَيْسَ بِمُنْكَرٍ لِلْكَافِرِ، فَإِنْ كَانَ الْفِعْلُ مُنْكَرًا فِي الدِّينَيْنِ فَلَا يَحِلُّ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يُشَايِعَ أَحَدَ أَبَوَيْهِ عَلَيْهِ

“Berkata para ahli fikih kami (yaitu bermadzhab Malikiyah-pent): Jika sang anak menanggung kedua orang tuanya yang kafir dan miskin, dan ternyata kebiasaan kedua orangtuanya adalah minum khomr maka hendaknya sang anak membelikan khomr kepada keduanya, karena minum khomr bukanlah perkara yang mungkar bagi orang kafir[1]. Jika suatu perbuatan dipandang kemungkaran menurut kedua agama (agama Islam dan agama kedua orangtuanya yang musyrik-pent) maka tidak boleh seorang muslim membantu kedua orangtuanya untuk melakukannya” (At-Tahriir wa at-Tanwiir 21/161)

Namun pendapat ini tidak disepakati oleh seluruh ulama Malikiyah, karenanya Asyhab (Juga ulama dari madzhab Malikiyah) berkata, “Sang anak tidak boleh melakukan itu semua” (Syarah Ibnu Naajii at-Tanukhiy ‘ala matn al-Risalah li Ibni Abi Zaid al-Qoirawani 2/442). Pendapat Asyhab ini tentu lebih hati-hati dan lebih kuat. Namun dengan mengetahui ada pendapat ulama Malikiyah yang lain kita mengetahui bagaimana penekanan para ulama terhadap berbakti kepada orang tua meskipun kafir.

Abdul Wahhab berkata

وَالأَبَوَانِ الْكَافِرَانِ كَالْمُسْلِمَيْنِ إِلاَّ أَنَّ بِرَّهُمَا يَنْقَطِعُ بِالْمَوْتِ

“Dan kedua orangtua yang kafir sama seperti kedua orangtua muslim, hanya saja berbakti kepada keduanya terputus dengan meninggalnya keduanya” (Syarah Ibnu Naajii at-Tanukhiy ‘ala matn al-Risalah li Ibni Abi Zaid al-Qoirawani 2/441)

Jika kepada orangtua yang kafir saja wajib untuk berbakti kepadanya apalagi jika orangtua hanya sekedar fasiq.

Kedua : Hukum menyambung silaturahmi kepada kerabat yang kafir dan fasik.

Telah lalu penyebutan beberapa dalil tentang disyari’atkannya menyambung silaturahmi dengan kerabat yang kafir, seperti hadits Asmaa’ yang didatangi oleh ibunya yang musyrik, demikian juga kisah Umar yang memberikan hadiah baju sutra kepada saudara laki-lakinya yang musyrik. Berikut ini dalil-dalil yang lain yang menunjuka akan disyari’atkannya menyambung silaturahmi kepada kerabat yang kafir.

Pertama : Firman Allah :

النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلَّا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَى أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا

Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (QS Al-Ahzaab : 6)

Firman Allah (kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu) umum mencakup saudara kerabat muslim maupun selain muslim menurut pendapat yang kuat. Makna ayat ini bahwasanya kerabat-kerabat yang kafir tidaklah mendapat warisan dari kaum muslimin akan tetapi jika seorang muslim memberi wasiat untuk memberikan sebagian harta waris kepada kerabat kafir maka diperbolehkan. Dan ini adalah pendapat Al-Hasan, Qotadah, ‘Athoo’, ‘Ikrimah dan Muhammad bin al-Hanafiyah. Dan ini adalah pendapat Ibnu ‘Athiyyah dan diikuti oleh al-Qurthubi dan Abu Hayyan al-Andalusi[2]

Qotadah berkata tentang ayat di atas :

لِلْقَرَابَةِ مِنْ أَهْلِ الشِّرْكِ وَصِيَّةٌ، وَلَا مِيرَاثَ لَهُمْ

“Kerabat yang musyrik (boleh) mendapatkan wasiat dan tidak ada harta warisan bagi mereka” (Tafsir At-Thobari 19/19)

Kedua : Firman Allah

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma´ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa (QS Al-Baqoroh : 180)

Ayat ini menunjukkan tentang disyari’atkannya memberi washiat (harta) kepada kedua orangtua dan kepada kerabat (baik muslim maupun non muslim). Akan tetapi ayat ini dikhususkan dengan ayat-ayat waris, sehingga jadilah kedua orangtua termasuk ahli warits (sehingga tidak berhak mendapatkan washiat) kecuali kedua orangtua kafir maka boleh mendapatkan washiat, demikian juga kerabat yang merupakan ahli warits tidak berhak lagi mendapatkan washiat kecuali kerabat yang bukan ahli warits dan juga kerabat kafir maka boleh mendapatkan washiat harta menurut pendapat yang kuat.

At-Tsa’alabi (wafat tahun 427 H) menyampaikan pendapat sebagian ulama :

كانت الوصيّة للوالدين والأقربين، فرضا واجبا على من مات، وله مال حتّى نزلت آية المواريث في سورة النّساء. فنسخت الوصيّة للوالدين والأقربين الذين يرثون، وبقي فرض الوصيّة للأقرباء الذين لا يرثون والوالدين الذين لا يرثان بكفر أو رق على من كان له مال… هذا قول ابن عبّاس وطاوس وقتادة والحسن ومسلم بن يسار والعلاء بن زياد والربيع وابن زيد.

“Awalnya washiat (harta) kepada kedua orangtua dan kerabat adalah wajib bagi orang yang meninggal yang memiliki harta, hingga turunlah ayat warisan di surat an-Nisaa’, maka ayat inipun memansukh-kan washiat kepada kedua orangtua dan kerabat yang merupakan ahli warits. Dan sisa kewajiban -bagi orang yang punya harta- untuk berwashiat kepada kerabat yang bukan ahli warits dan juga kedua orang tua yang bukan ahli waris karena kekafiran atau perbudakan…dan ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Thowus, Qotadah, al-Hasan, Muslim bin Yasar, al-‘Alaa bin Ziyad, Ar-Robii’, dan Ibnu Zaid” (Al-Kasyf wa al-Bayaan an Tafsiir al-Qur’an 2/57)

Ketiga : Abu Hurairoh berkata :

لَمَّا أُنْزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ {وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ}، دَعَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُرَيْشًا، فَاجْتَمَعُوا فَعَمَّ وَخَصَّ، فَقَالَ: «يَا بَنِي كَعْبِ بْنِ لُؤَيٍّ، أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنَ النَّارِ، يَا بَنِي مُرَّةَ بنِ كَعْبٍ، أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنَ النَّارِ، يَا بَنِي عَبْدِ شَمْسٍ، أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنَ النَّارِ، يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ، أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنَ النَّارِ، يَا بَنِي هَاشِمٍ، أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنَ النَّارِ، يَا بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنَ النَّارِ، يَا فَاطِمَةُ، أَنْقِذِي نَفْسَكِ مِنَ النَّارِ، فَإِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا، غَيْرَ أَنَّ لَكُمْ رَحِمًا سَأَبُلُّهَا بِبَلَالِهَا»

Tatkala turun firman Allah (Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat), Rasulullah memanggil kaum Quraiys, maka merekapun berkumpul, lalu Nabi menyeru mereka dengan mengumumkan dan mengkhususkan, maka beliau berkata, “Wahai bani Ka’ab bin Lu’ay, selamatkan diri kalian dari api neraka !. Wahai bagi Murroh bin Ka’ab, selamatkanlah diri kalian dari neraka !. Wahai bani Abdu Syams, selamatkanlah diri kalian dari neraka !. Wahai bani Abdi Manaf, selamatkanlah diri kalian dari neraka !. Wahai bani Hasyim, selamatkanlah diri kalian dari neraka !. Wahai bani Abdil Muttholib, selamatkanlah diri kalian dari neraka !. Wahai Fathimah selamatkanlah dirimu dari neraka !. Sesungguhnya aku tidak bisa memberikan kepada kalian sesuatupun dari Allah sama sekali, hanya saja kalian memiliki rahim yang aku akan membasahinya dengan airnya” (HR Muslim No. 204)

An-Nawawi mengomentari sabda Nabi (hanya saja kalian memiliki rahim yang aku akan membasahinya dengan airnya):

سَأَصِلُهَا شُبِّهَتْ قَطِيعَةُ الرَّحِمِ بِالْحَرَارَةِ وَوَصْلُهَا بِإِطْفَاءِ الْحَرَارَةِ بِبُرُودَةٍ

“Maknanya : “Aku akan menyambung rahim kalian”. Memutuskan silaturahmi disamakan dengan panas dan menyambung silaturahmi disamakan dengan memadamkan panas tersebut dengan sesuatu yang dingin (yaitu air)” (Al-Minhaj Syarh Muslim 3/81)

أَنَّ عَمْرَو بْنَ العَاصِ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جِهَارًا غَيْرَ سِرٍّ يَقُولُ: ” إِنَّ آلَ أَبِي لَيْسُوا بِأَوْلِيَائِي، إِنَّمَا وَلِيِّيَ اللَّهُ وَصَالِحُ المُؤْمِنِينَـ، وَلَكِنْ لَهُمْ رَحِمٌ أَبُلُّهَا بِبَلاَهَا»

‘Amr bin al-‘Ash berkata, “Aku mendengar Nabi berkata dengan keras -tanpa bisik-bisik- , “Sesungguhnya keluarga ayahku bukanlah wali-waliku (penolongku), sesungguhnya hanyalah para penolongku adalah Allah dan orang-orang mukmin yang shalih, akan tetapi mereka memiliki hubungan rahim (kekerabatan) yang akan aku basahi dengan airnya” (HR Al-Bukhari No. 5990)

Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Bahwasanya Nabi bersabda, “Sesungguhnya bani fulan bukanlah wali-waliku”. Hal ini dikarenakan mereka kafir. Dan yang wajib atas seorang mukmin untuk berlepas diri loyalitas kepada orang-orang kafir sebagaimana firman Allah

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَداً حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ

Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja (QS Al-Mumtahanah :4)

Maka Rasulullah berlepas diri dari mereka padahal mereka adalah kerabat beliau. Beliau bersabda (akan tetapi mereka memiliki hubungan rahim (kekerabatan) yang akan aku basahi dengan airnya). Yaitu akan memberikan kepada mereka hak mereka untuk disilaturahmi meskipun mereka kafir. Ini menunjukan bahwa kerabat memiliki hak untuk disambung silaturahmi meskipun ia kafir, akan tetapi ia tidak memiliki hak loyalitas, maka tidaklah loyal kepadanya dan tidaklah ia ditolong karena kebatilan yang ada padanya” (Syarh Riyad as-Sholihin 3/199)

Dari sini jumhur ulama berpendapat bahwa menyambung silaturahmi kepada kerabat kafir (apalagi yang hanya fasiq) hukumnya adalah mustahab namun tidak sampai pada derajat wajib kecuali kedua orang tua kafir atau fasiq maka hukumnya tetap wajib berdasarkan dalil-dalil yang khusus akan hal itu. (Al-Muslim wa Huquq al-Akhorin hal 36).

Terlebih lagi jika seseorang meniatkan menyambung silaturahmi dengan kerabat kafir /fasik dalam rangka mendakwahi mereka. Ibnu Hajar berkata :

أَنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ الْكَافِرِ يَنْبَغِي تَقْيِيدُهَا بِمَا إِذَا آنَسَ مِنْهُ رُجُوعًا عَنِ الْكُفْرِ أَوْ رَجَى أَنْ يَخْرُجَ مِنْ صُلْبِهِ مُسْلِمٌ كَمَا فِي الصُّورَةِ الَّتِي اسْتُدِلَّ بِهَا وَهِيَ دُعَاءُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِقُرَيْشٍ بِالْخِصْبِ وَعُلِّلَ بِنَحْوِ ذَلِكَ فَيَحْتَاجُ مَنْ يَتَرَخَّصُ فِي صِلَةِ رَحِمِهِ الْكَافِرِ أَنْ يَقْصِدَ إِلَى شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ

“Sesungguhnya menyambung silaturahmi kepada kerabat kafir hendaknya dikhususkan dengan jika dirasakan bahwa kerabat kafir tersebut akan sadar dari kekafirannya atau diharapkan akan keluar dari keturunannya seorang mulsim sebagaimana dalam bentuk (dalam hadits di atas-pen) yang dijadikan dalil, yaitu Nabi mendakwahi Quraisy di al-Khosb dan dijelaskan sebabnya seperti demikian. Maka soerang yang membolehkan untuk menyambung silaturahmi kerabat kafir hendaknya memerlukan untuk berniat sesuatu yang semodel ini” (Fathul Baari 10/422)

Dari sini kita ketahui bahwasanya jika seseorang memutuskan silaturahmi dengan kerabat yang kafir atau fasik (yang menampakan kemaksiatannya) maka tidak dikatakan bahwa ia adalah pemutus silaturahmi yang mendapatkan ancaman yang berat. Wallahu a’lam.

____________________________________

Footnote:

[1] Diantara dalil yang dijadikan hujjah akan hal ini adalah hadits Ibnu Umar, beliau berkata :

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَأَى حُلَّةً سِيَرَاءَ عِنْدَ بَابِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ اشْتَرَيْتَ هَذِهِ فَلَبِسْتَهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلِلْوَفْدِ إِذَا قَدِمُوا عَلَيْكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا يَلْبَسُ هَذِهِ مَنْ لا خَلاقَ لَهُ فِي الآخِرَةِ ثُمَّ جَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا حُلَلٌ فَأَعْطَى عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مِنْهَا حُلَّةً فَقَالَ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَسَوْتَنِيهَا وَقَدْ قُلْتَ فِي حُلَّةِ عُطَارِدٍ (اسم البائع) مَا قُلْتَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَمْ أَكْسُكَهَا لِتَلْبَسَهَا فَكَسَاهَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَخًا لَهُ بِمَكَّةَ مُشْرِكًا

Bahwasanya Umar bin al-Khotthob melihat hullah sutra (baju sepasang) yang dijual di pintu mesjid. Lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah seandainya engkau membeli baju ini lalu engkau memakainya pada hari jum’at dan untuk menyambut tamu jika mereka datang menemuimu”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Yang memakai baju ini adalah orang-orang yang tidak mendapat bagian di akhirat”. Kemudian datang buat Nabi beberapa baju dari sutra, lalu beliau memberikan sepasang baju kepada Umar. Maka Umarpun berkata, “Wahai Rasulullah engkau memberikan aku baju ini, padahal engkau berkata tentang baju sutra yang dijual oleh ‘Uthorid (nama penjual) apa yang telah engkau katakan”. Rasulullah berkata, “Aku tidak memberikan baju ini kepadamu buat engkau pakai”. Maka Umarpun memberikan baju tersebut kepada saudaranya yang musyrik di Mekah” (HR Al-Bukhari No. 837)

Hadits ini menunjukkan Umar menghadiahkan pakaian sutra yang haram dipakai oleh seorang lelaki muslim kepada saudaranya lelaki yang musyrik di Mekah. Berarti boleh bersilaturahmi dengan memberikan perkara yang haram namun dipandang halal oleh kerabat kafir.

Namun pendapat ini kurang kuat, karena tidak ada nash yang tegas bahwa Umar memberikan baju tersebut untuk dipakai oleh saudara lelakinya yang kafir. Bisa jadi Umar memberikannya untuk dijual atau dimanfaatkan atau dirubah menjadi pakaian wanita.

Adapun dalil-dalil yang menunjukan pengharaman memberikan benda yang haram kepada orang tua dan kerabat yang kafir -meskipun di mata mereka adalah halal- sebagai berikut :

Pertama : Allah melarang untuk saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya (QS Al-Maidah : 2)

Kedua : Menurut pendapat yang kuat bahwasanya أَنَّ الكُفَّارَ مُخَاطَبُوْنَ بِفُرُوْعِ الشَّرِيْعَة yaitu orang-orang kafir juga diperintahkan untuk mengerjakan cabang-cabang syair’at, hanya saja tidak bisa sah dari mereka kecuali setelah mereka masuk Islam terlebih dahulu (menjalankan ushul/pokok syari’at)

Ketiga : Sabda Nabi :

لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Pencipta” (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah No. 179)

[2] Adapun Ibnu Jarir at-Thobari maka beliau memilih pendapat bahwa yang dimaksud dengan أَوْلِيَائِكُمْ  (saudara-saudaramu) adalah hanya khusus kerabat yang beriman dan tidak mencakup kerabat yang kafir. Menurut Ibnu Jarir Allah menamakan kerbat dalam ayat ini dengan “wali-walimu” sementara saudara yang kafir terputuslah perwaliannya. (Tafsir at-Thobari 19/20) Namun pernyataan Ibnu Jarir ini dikritiki dengan pernyataan al-Hasan bahwasanya perwalian ada dua, ada perwalian agama dan ada perwalian nasab. Yang terputus adalah perwalian agama adapun perwalian karena nasab tidaklah terputuskan dengan kekafiran. Hasan al-Bashri berkata tentang ayat di atas :

إِلَّا أَنْ يَكُونَ لَكَ ذُو قَرَابَةٍ لَيْسَ عَلَى دِينِكَ فَتُوصِي لَهُ بِالشَّيْءِ مِنْ مَالِكَ , فَهُوَ وَلِيُّكَ فِي النَّسَبِ , وَلَيْسَ وَلِيُّكَ فِي الدِّينِ

“Kecuali jika engkau memiliki kerabat non muslim maka engkau memberi wasiat kepadanya untuk diberikan sebagian hartamu kepadanya. Kerabatmu tersebut adalah walimu dalam nasabmu dan bukan pada agamamu” (Tafsir Abdurrozzaq 3/32).


Artikel asli: https://firanda.com/4127-kitabul-jami-bab-2-muqadimah-berbakti-dan-menyambung-silaturahmi.html